“Sorban putih menempel diatas bahunya, berpakaian jas rangkap kemeja, bersarung, dan peci hitam di atas kepalanya mencirikan seorang yang berwibawa tinggi dan hidup rapih. Itulah sosok Tauladan Pimpinan Pondok Pesantren Al-Basyariyah Buya Drs.KH.Saeful Azhar. Beliau seorang Kyai yang punya semangat dan dedikasi tinggi dalam memajukan pondok dan mensejahterakan kehidupan santrinya." “Tua-tua keladi, makin tua makin jadi”
mungkin itulah pepatah yang pantas di sandangkan kepada beliau. karena produktivitasnya sangatlah tinggi, tiada hari yang beliau lalui tanpa membangun fasilitas baru demi kepentingan santri. Sekarang pondok pesantren didikannya sudah memiliki 4 cabang yaitu : Kampus I Al-Basyariyah Cibaduyut, Kampus II Al-Basyariyah Cigondewah, Kampus III Al-Basyariyah Arjasari dan Kampus IV Al-Basyariyah Cikungkurak. “
Buya demikian panggilan akrabnya, Beliau lahir di Cibaduyut 20 Januari 1943 atau bertepatan dengan 13 Muharram 1362 H di kampung pangurisan Babakan Ciparay Cibaduyut. Beliau merupakan anak kedua pasangan KH Ijazi dan Hj Nafisah (Ma Aji). beberapa jam sebelum kelahirannya tepat jam 11.00, Mama Indi yang merupakan Uyut Buya dari Jihat Ibu meninggal dunia (Beliau merupakan seorang ulama terkenal di tataran pasundan saat itu. Saking tersohornya beliau mendapatkan bintang emas dari Raja Depok, dan konon kabarnya santri yang mengaji padanya tidak hanya dari golongan manusia saja melainkan dari golongan jin pun banyak yang mesantren pada Mama Indi), sedangkan Buya sendiri lahir pada jam 16.00 sore. pada saat Buya lahir kakeknya dari jihat ibu yaitu Mama Muthi seorang ulama besar pula mempunyai firasat bahwa inilah yang akan menggantikan Mama Indi dalam Ilmu dan kepintarannya. Memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan bahwa di kemudian hari Buya menjadi seorang Kyai besar.
Dari jihat ayah maupun ibu, Buya memang merupakan keturunan ulama. Ayah Buya sendiri, KH ijazi merupakan seorang Kyai yang memiliki banyak santri. Beliau memiliki pesantren yang bernama Sirna Jaya. Tiap hari KH Ijazi ngawuruk santrinya ngaji kitab kuning. Bahkan menurut Buya ayahnya lebih rajin dan pandai dari pada beliau. kalau beliau ngawuruk ngaji mulainya selepas shalat isya sampai jam 24.00 malam. Oleh ayahnya buya di beri nama Saefullah, nama tersebut tercatat dalam kitab peninggalan ayahnya yang tertulis (Saefullah 13 Muharram 1362). Ketika menginjak usia 1 tahun Pesantren ayah Buya di serang oleh Pasukan Kolonial Belanda dan memporak-porandakan bangunan beserta isinya. kemudian ayah Buya lari ke tempat pengungsian di Cikundul (Daerah Soreang). Tidak lama dari pelariannya KH. Ijazi diserang penyakit beliau pun wafat di tempat pengungsian dan di semayamkan di sana. Dan setelah Buya dewasa Makam ayahnya dipindahkan ke Areal Cibaduyut.
Jadi pada usia 1 tahun Buya sudah menjadi anak yatim dan hanya berada dalam asuhan ibunya, Ma Aji. Buya di bawa kembali oleh Ma Aji ke kampung asalnya Cimindi. Karena Ma Aji orang yang tidak mampu maka Buya di adopsi oleh Uanya Hj. Hasanah yang kemudian Buya di ganti namanya menjadi Saefudin karena kebetulan di rumah itu ada juga yang bernama Saefullah. Namun saat menginjak usia sekolah Buya merasa tidak betah dan kembali lagi ke ibunya di Cimindi. Buya masuk SD (dulu SR sekolah rakyat)pada usia 7 tahun di SDN Rahayu. Jarak rumah dengan sekolahnya cukup jauh 2 KM sehingga Buya terpaksa harus jalan kaki. Saat masuk SD Buya masih menggunakan nama Saefudin. Pada saat Buya berada di kelas 2 SD Ma Aji menikah lagi dengan KH. Sujai (yang namanya di abadikan menjadi sebuah Rayon asrama santri) beliau ini merupakan seorang ahli Thareqat Annaqsabandiyah yang tinggal di kampung pangkalan. Lalu Ma Aji beserta Buya di bawa ke Pangkalan. Saat kelas 3 SD Buya pun pindah sekolahnya ke SD Cikungkurak, kemudian pindah lagi ke SD Cirangrang dan tamat di sana.
Setelah tamat SD Ma Aji cerai dengan KH Sujai sehingga Ma Aji dan Buya pindah lagi ke Cibaduyut tempat kediaman ayah kandung Buya KH Ijazi. Di Cibaduyut Buya melanjutkan sekolahnya ke SMP Muslimin, Ciateul. Dulu sekolah tersebut merupakan satu-satunya sekolah islam di daerah itu. Saat Buya kelas 3 SMP dalam dirinya mulai ada keinginan untuk ngalap Ilmu di Pesantren. Terbukti setelah tamat SMP Buya langsung masuk pesantren pada tahun 1959 di Sindang Sari, Cileunyi (dulu merupakan salah satu pesantren termaju). Disana Buya ngaji kitab kuning Tijan, Safinah, Jurumiyah dan lain-lain. Dalam kurun waktu 1 tahun Buya bisa menamatkan beberapa kitab. Di pesantren sindang sari ini Buya mesantren selama 3 tahun. Karena belum merasa puas dengan ilmu yang sudah didapatkan, Buya pun mencari pesantren yang bagus untuk menambah keilmuannya ketika itu terdengar bahwa terdapat pesantren di Jawa Timur yang mempunyai disiplin yang bagus yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Hanya berbekal uang yang pas hanya untuk ongkos dan 2 stel baju Buya pun berangkat ke Gontor. Namun, Sebelum masuk ke Gontor Buya masuk dulu ke Ngabar, Ponorogo untuk Penggodogan bahasa Arab dan Inggris. Baru setelah itu, masuk ke pondok Modern Gontor selama 5 tahun. Di Gontor Buya termasuk santri yang berprestasi. Kendati demikian beliau mengaku bahwa dirinya bukanlah orang pintar namun punya keinginan dan kegigihan dalam belajar. Di sana Buya selalu masuk dalam kelas Klasifikasi B (kelas terbaik di Gontor). Dan juga beliau sangat aktif dengan mengikuti berbagai macam Organisasi salah satunya adalah kegiatan Pramuka. Dan di Gontor pulalah nama Buya di rubah lagi menjadi Saeful Azhar. Saat Buya masih di Gontor, Ma Aji Ruju` lagi dengan KH Sujai. Tapi tak lama dari itu KH Sujai meninggal Dunia.
Sepulang dari Gontor Buya melanjutkan pesantren ke Cipasung selama 2 tahun (pesantren yang terkenal dengan kitab kuningnya). Di sini sambil belajar, juga di percayakan oleh Kyai nya untuk mengajar Bahasa Arab. Setelah dari Cipasung buya kembali mesantren di Sindang Sari, Cipasung selama 1 tahun. jadi total mesantren Buya adalah selama 12 tahun. 6 tahun di pondok Modern dan 6 tahun di pesantren Salaf. Sehingga berkat di bekali basic mesantren di pondok modern dan salafi, Buya mendirikan sebuah pesantren yang memodifikasikan sistem Pendidikan ala Modern dan Salafi.
Setelah melanglang buana di dunia pesantren, Buya berniat untuk mengamalkan Ilmu dan pengalamannya ke masyarakat. Maksud tersebut di sambut baik oleh mang Tibi dengan mempersilahkan Buya untuk tinggal di rumahnya, Cikungkurak-Caringin. Di sana Buya di beri tanah wakaf oleh masyarakat seluas 1000 M. Di tanah itulah Buya bermaksud mendirikan pesantren. Namun, sebelum di buat bangunan Buya mengadakan pengajian bagi remaja, Madrasah Diniyah untuk anak-anak yang bertempat di kuburan, di bawah pepohonan, ataupun ikut ke rumah warga sekitar. Animo dan antusias masyarakat di sana sangat respek sekali. Hal ini di butikan dengan banyaknya warga yang menawarkan rumahnya untuk di jadikan tempat pengajian. Selain itu, Buya yang saat itu masih Bujangan mengadakan kursus bahasa Arab bagi bapak-bapak dan majelis ta`lim bagi ibu-ibu. Tiap harinya banyak sekali santri yang berdatangan kepada Buya untuk mesantren. Tapi saat itu santrinya masih ngalong di karenakan belum adanya asrama bagi santri. salah satu santri pengajiannya adalah Neneng Sumiatin (sekarang bernama Ummi Sajaah, istri Buya). Dan ayah serta ibunyapun mengikuti kursus bahasa arab dan majelis ta`lim.
Pada usia 25 tahun Buya menikah dengan seorang santri pengajiannya yaitu Neneng Sumiatin (Ummi Sajaah). Yang kemudian dari pernikahan mereka di karuniai anak sebanyak 7 orang. dalam keadaan sudah menikah. Buya melanjutkan Studinya ke IAIN dengan mendapat besiswa dari pemerintah. Buya merupakan mahasiswa tertua dalam angkatannya. Sehingga Buya seringkali dipercayai untuk menjabat ketua dalam suatu Organisasi, ataupun Studi Club karena beliau memiliki segudang pegalaman. Banyak teman-teman mahasiswa di kampusnya yang ingin belajar bareng dengan Buya, hampir setiap hari rumah Buya di kunjungi oleh teman kuliahnya yang hendak belajar bareng. Dan juga rumah Buya yang sederhana itu di lengkapi dengan perpustakaan mini yang memudahkan untuk mencari referensi bacaan. Pasca masa kuliah berakhir Buya di wisuda dengan Predikat mahasiswa terbaik. Sehingga setelah di wisuda Buya langsung di Angkat menjadi Dosen di 8 Perguruan tinggi yaitu IAIN , UNPAD , UNISBA dan lain-lain. Kesuksesan Buya terus berlanjut dengan diangkatnya menjadi PNS oleh pemerintah, yaitu sebagai pewuruk kitab kuning di Kantor, dan juga memegang beberapa jabatan penting. diantaranya Anggota DPR, Kepala Kantor agama, Hakim, Majelis Ulama di babakan ciparay dan jabatan lainnya di masyarakat. Namun kesibukannya di dunia politik tidak menghentikan langkah Buya dalam mengajar santri-santrinya termasuk majelis ta`lim. Kegiatan sehari-harinya yaitu, pada pagi harinya dinas di kantor dan malamnya ngawuruk di pengajian. Hal tersebut berlangsung selama beberapa tahun lamanya.
Baru pada tahun 1982 Buya melepaskan segala jabatannya dan konsentrasi penuh dengan all in dalam mendirikan pesantren. Saat itu seluruh harta kekayaan Buya dan Ummi di jual untuk modal membangun Pesantren termasuk tanah Buya seluas 200 tumbak. Saat itu Ma Aji menangis melihat semua harta di jual oleh anaknya, sehingga tidak punya apa-apa lagi. Tapi tetap Buya bersikeras dan berkeyakinan bahwa Allah akan menolong hambanya yang berjuang di jalannya. Dari sejumlah Harta yang di jual hanya cukup untuk membangun 1 buah Masjid dan 3 lokal madrasah dari sinilah cikal bakal majunya pesantren Al-Basyariyah.
Dari sinilah Buya berjuang habis-habisan untuk mendirikan pesantren. Mulanya santri yang belajar di Al-Basyariyah hanya 9 orang salah satunya Ust.Endang Suhendi s.ag yang sekarang menjadi Mudirul Ma`had. Kemudian tahun ke-2 bertambah menjadi 30 orang Yang hingga sekarang santrinya menjadi ribuan. Kini di usia Buya yang ke-67 (13 Muharram 1428 H) beliau memiliki 4 cabang pesantren yaitu, Kampus I Cibaduyut, Kampus II Cigondewah, Kampus III Arjasari, dan Kampus IV Cikungkurak.
(http://ismaalba.blog.com/)
mungkin itulah pepatah yang pantas di sandangkan kepada beliau. karena produktivitasnya sangatlah tinggi, tiada hari yang beliau lalui tanpa membangun fasilitas baru demi kepentingan santri. Sekarang pondok pesantren didikannya sudah memiliki 4 cabang yaitu : Kampus I Al-Basyariyah Cibaduyut, Kampus II Al-Basyariyah Cigondewah, Kampus III Al-Basyariyah Arjasari dan Kampus IV Al-Basyariyah Cikungkurak. “
Buya demikian panggilan akrabnya, Beliau lahir di Cibaduyut 20 Januari 1943 atau bertepatan dengan 13 Muharram 1362 H di kampung pangurisan Babakan Ciparay Cibaduyut. Beliau merupakan anak kedua pasangan KH Ijazi dan Hj Nafisah (Ma Aji). beberapa jam sebelum kelahirannya tepat jam 11.00, Mama Indi yang merupakan Uyut Buya dari Jihat Ibu meninggal dunia (Beliau merupakan seorang ulama terkenal di tataran pasundan saat itu. Saking tersohornya beliau mendapatkan bintang emas dari Raja Depok, dan konon kabarnya santri yang mengaji padanya tidak hanya dari golongan manusia saja melainkan dari golongan jin pun banyak yang mesantren pada Mama Indi), sedangkan Buya sendiri lahir pada jam 16.00 sore. pada saat Buya lahir kakeknya dari jihat ibu yaitu Mama Muthi seorang ulama besar pula mempunyai firasat bahwa inilah yang akan menggantikan Mama Indi dalam Ilmu dan kepintarannya. Memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan bahwa di kemudian hari Buya menjadi seorang Kyai besar.
Dari jihat ayah maupun ibu, Buya memang merupakan keturunan ulama. Ayah Buya sendiri, KH ijazi merupakan seorang Kyai yang memiliki banyak santri. Beliau memiliki pesantren yang bernama Sirna Jaya. Tiap hari KH Ijazi ngawuruk santrinya ngaji kitab kuning. Bahkan menurut Buya ayahnya lebih rajin dan pandai dari pada beliau. kalau beliau ngawuruk ngaji mulainya selepas shalat isya sampai jam 24.00 malam. Oleh ayahnya buya di beri nama Saefullah, nama tersebut tercatat dalam kitab peninggalan ayahnya yang tertulis (Saefullah 13 Muharram 1362). Ketika menginjak usia 1 tahun Pesantren ayah Buya di serang oleh Pasukan Kolonial Belanda dan memporak-porandakan bangunan beserta isinya. kemudian ayah Buya lari ke tempat pengungsian di Cikundul (Daerah Soreang). Tidak lama dari pelariannya KH. Ijazi diserang penyakit beliau pun wafat di tempat pengungsian dan di semayamkan di sana. Dan setelah Buya dewasa Makam ayahnya dipindahkan ke Areal Cibaduyut.
Jadi pada usia 1 tahun Buya sudah menjadi anak yatim dan hanya berada dalam asuhan ibunya, Ma Aji. Buya di bawa kembali oleh Ma Aji ke kampung asalnya Cimindi. Karena Ma Aji orang yang tidak mampu maka Buya di adopsi oleh Uanya Hj. Hasanah yang kemudian Buya di ganti namanya menjadi Saefudin karena kebetulan di rumah itu ada juga yang bernama Saefullah. Namun saat menginjak usia sekolah Buya merasa tidak betah dan kembali lagi ke ibunya di Cimindi. Buya masuk SD (dulu SR sekolah rakyat)pada usia 7 tahun di SDN Rahayu. Jarak rumah dengan sekolahnya cukup jauh 2 KM sehingga Buya terpaksa harus jalan kaki. Saat masuk SD Buya masih menggunakan nama Saefudin. Pada saat Buya berada di kelas 2 SD Ma Aji menikah lagi dengan KH. Sujai (yang namanya di abadikan menjadi sebuah Rayon asrama santri) beliau ini merupakan seorang ahli Thareqat Annaqsabandiyah yang tinggal di kampung pangkalan. Lalu Ma Aji beserta Buya di bawa ke Pangkalan. Saat kelas 3 SD Buya pun pindah sekolahnya ke SD Cikungkurak, kemudian pindah lagi ke SD Cirangrang dan tamat di sana.
Setelah tamat SD Ma Aji cerai dengan KH Sujai sehingga Ma Aji dan Buya pindah lagi ke Cibaduyut tempat kediaman ayah kandung Buya KH Ijazi. Di Cibaduyut Buya melanjutkan sekolahnya ke SMP Muslimin, Ciateul. Dulu sekolah tersebut merupakan satu-satunya sekolah islam di daerah itu. Saat Buya kelas 3 SMP dalam dirinya mulai ada keinginan untuk ngalap Ilmu di Pesantren. Terbukti setelah tamat SMP Buya langsung masuk pesantren pada tahun 1959 di Sindang Sari, Cileunyi (dulu merupakan salah satu pesantren termaju). Disana Buya ngaji kitab kuning Tijan, Safinah, Jurumiyah dan lain-lain. Dalam kurun waktu 1 tahun Buya bisa menamatkan beberapa kitab. Di pesantren sindang sari ini Buya mesantren selama 3 tahun. Karena belum merasa puas dengan ilmu yang sudah didapatkan, Buya pun mencari pesantren yang bagus untuk menambah keilmuannya ketika itu terdengar bahwa terdapat pesantren di Jawa Timur yang mempunyai disiplin yang bagus yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Hanya berbekal uang yang pas hanya untuk ongkos dan 2 stel baju Buya pun berangkat ke Gontor. Namun, Sebelum masuk ke Gontor Buya masuk dulu ke Ngabar, Ponorogo untuk Penggodogan bahasa Arab dan Inggris. Baru setelah itu, masuk ke pondok Modern Gontor selama 5 tahun. Di Gontor Buya termasuk santri yang berprestasi. Kendati demikian beliau mengaku bahwa dirinya bukanlah orang pintar namun punya keinginan dan kegigihan dalam belajar. Di sana Buya selalu masuk dalam kelas Klasifikasi B (kelas terbaik di Gontor). Dan juga beliau sangat aktif dengan mengikuti berbagai macam Organisasi salah satunya adalah kegiatan Pramuka. Dan di Gontor pulalah nama Buya di rubah lagi menjadi Saeful Azhar. Saat Buya masih di Gontor, Ma Aji Ruju` lagi dengan KH Sujai. Tapi tak lama dari itu KH Sujai meninggal Dunia.
Sepulang dari Gontor Buya melanjutkan pesantren ke Cipasung selama 2 tahun (pesantren yang terkenal dengan kitab kuningnya). Di sini sambil belajar, juga di percayakan oleh Kyai nya untuk mengajar Bahasa Arab. Setelah dari Cipasung buya kembali mesantren di Sindang Sari, Cipasung selama 1 tahun. jadi total mesantren Buya adalah selama 12 tahun. 6 tahun di pondok Modern dan 6 tahun di pesantren Salaf. Sehingga berkat di bekali basic mesantren di pondok modern dan salafi, Buya mendirikan sebuah pesantren yang memodifikasikan sistem Pendidikan ala Modern dan Salafi.
Setelah melanglang buana di dunia pesantren, Buya berniat untuk mengamalkan Ilmu dan pengalamannya ke masyarakat. Maksud tersebut di sambut baik oleh mang Tibi dengan mempersilahkan Buya untuk tinggal di rumahnya, Cikungkurak-Caringin. Di sana Buya di beri tanah wakaf oleh masyarakat seluas 1000 M. Di tanah itulah Buya bermaksud mendirikan pesantren. Namun, sebelum di buat bangunan Buya mengadakan pengajian bagi remaja, Madrasah Diniyah untuk anak-anak yang bertempat di kuburan, di bawah pepohonan, ataupun ikut ke rumah warga sekitar. Animo dan antusias masyarakat di sana sangat respek sekali. Hal ini di butikan dengan banyaknya warga yang menawarkan rumahnya untuk di jadikan tempat pengajian. Selain itu, Buya yang saat itu masih Bujangan mengadakan kursus bahasa Arab bagi bapak-bapak dan majelis ta`lim bagi ibu-ibu. Tiap harinya banyak sekali santri yang berdatangan kepada Buya untuk mesantren. Tapi saat itu santrinya masih ngalong di karenakan belum adanya asrama bagi santri. salah satu santri pengajiannya adalah Neneng Sumiatin (sekarang bernama Ummi Sajaah, istri Buya). Dan ayah serta ibunyapun mengikuti kursus bahasa arab dan majelis ta`lim.
Pada usia 25 tahun Buya menikah dengan seorang santri pengajiannya yaitu Neneng Sumiatin (Ummi Sajaah). Yang kemudian dari pernikahan mereka di karuniai anak sebanyak 7 orang. dalam keadaan sudah menikah. Buya melanjutkan Studinya ke IAIN dengan mendapat besiswa dari pemerintah. Buya merupakan mahasiswa tertua dalam angkatannya. Sehingga Buya seringkali dipercayai untuk menjabat ketua dalam suatu Organisasi, ataupun Studi Club karena beliau memiliki segudang pegalaman. Banyak teman-teman mahasiswa di kampusnya yang ingin belajar bareng dengan Buya, hampir setiap hari rumah Buya di kunjungi oleh teman kuliahnya yang hendak belajar bareng. Dan juga rumah Buya yang sederhana itu di lengkapi dengan perpustakaan mini yang memudahkan untuk mencari referensi bacaan. Pasca masa kuliah berakhir Buya di wisuda dengan Predikat mahasiswa terbaik. Sehingga setelah di wisuda Buya langsung di Angkat menjadi Dosen di 8 Perguruan tinggi yaitu IAIN , UNPAD , UNISBA dan lain-lain. Kesuksesan Buya terus berlanjut dengan diangkatnya menjadi PNS oleh pemerintah, yaitu sebagai pewuruk kitab kuning di Kantor, dan juga memegang beberapa jabatan penting. diantaranya Anggota DPR, Kepala Kantor agama, Hakim, Majelis Ulama di babakan ciparay dan jabatan lainnya di masyarakat. Namun kesibukannya di dunia politik tidak menghentikan langkah Buya dalam mengajar santri-santrinya termasuk majelis ta`lim. Kegiatan sehari-harinya yaitu, pada pagi harinya dinas di kantor dan malamnya ngawuruk di pengajian. Hal tersebut berlangsung selama beberapa tahun lamanya.
Baru pada tahun 1982 Buya melepaskan segala jabatannya dan konsentrasi penuh dengan all in dalam mendirikan pesantren. Saat itu seluruh harta kekayaan Buya dan Ummi di jual untuk modal membangun Pesantren termasuk tanah Buya seluas 200 tumbak. Saat itu Ma Aji menangis melihat semua harta di jual oleh anaknya, sehingga tidak punya apa-apa lagi. Tapi tetap Buya bersikeras dan berkeyakinan bahwa Allah akan menolong hambanya yang berjuang di jalannya. Dari sejumlah Harta yang di jual hanya cukup untuk membangun 1 buah Masjid dan 3 lokal madrasah dari sinilah cikal bakal majunya pesantren Al-Basyariyah.
Dari sinilah Buya berjuang habis-habisan untuk mendirikan pesantren. Mulanya santri yang belajar di Al-Basyariyah hanya 9 orang salah satunya Ust.Endang Suhendi s.ag yang sekarang menjadi Mudirul Ma`had. Kemudian tahun ke-2 bertambah menjadi 30 orang Yang hingga sekarang santrinya menjadi ribuan. Kini di usia Buya yang ke-67 (13 Muharram 1428 H) beliau memiliki 4 cabang pesantren yaitu, Kampus I Cibaduyut, Kampus II Cigondewah, Kampus III Arjasari, dan Kampus IV Cikungkurak.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar